Pemilu 2024
yang baru saja usai meninggalkan banyak noktah merah dalam penyelenggaraannya.
Diantaranya yang paling mencolok adalah praktik money politics. Praktik ini
nyata terjadi dan ibarat penyakit bagaikan kanker stadium 4 yang amat sulit
disembuhkan.
Sebenarnya,
soal money politic bukanlah isu baru, dan setiap menjelang Pemilu dan Pilkada
acapkali dilakukan warning terhadap kemungkinan bergentayangannya money
politic. Bahkan, peraturan perundang-undangan Pemilu dan Pilkada juga sudah
memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku money politics.
Namun
realita yang terjadi di lapangan, tetap saja money politics dilakukan secara
merata oleh peserta pemilu dengan berbagai macam modus pelaksanaannya. Biasanya
peserta pemilu atau calon anggota legislatif (caleg) yang masih berkuasa
(incumbent) dengan fasilitas yang dimiliki, ataupun caleg lainnya yang memiliki
uang banyak dapat melakukannya secara terstruktur, sistematis dan masif.
“Praktik
kotor ini bahkan telah menebar virus ke masyarakat, di mana sebagian masyarakat
malahan justru ‘menunggu’ ditebarnya money politics yang mereka sebut sebagai
‘serangan fajar’”. Demikian ungkap ketua Komite I H. Fachrul Razi, M.IP, M.Si,
MH setelah mengikuti rapat Paripurna DPD RI pada Jumat, 5 April 2024 di Gedung
Senayan, Jakarta.
Sebelumnya,
dalam Kunjungan Kerja (kunker) Komite I DPD RI ke Provinsi Aceh pada 1 April
2024, juga terkonfirmasi bahwa money politics merupakan salah satu pelanggaran
yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2024 di Aceh dan dapat dikatakan telah mendelegitimasi
hasil Pemilu. Sementara itu, pada tanggal 27 Nopember 2024 yang akan datang
juga akan ada lagi gelaran Pilkada Serentak termasuk di Aceh. Diperkirakan, Pilkada Aceh akan lebih panas
tensinya dibandingkan Pemilu, karena adanya unsur kepentingan lokal yang lebih
tinggi. Dalam suasana seperti ini, kemungkinan money politic juga akan terjadi
lebih masif lagi.
“Demokrasi
Aceh dalam ancaman, para elit politik yg memiliki uang memanfaatkan keadaan
kemiskinan masyarakat dengan melakukan praktek money politik, sehingga
memberikan peluang kemenangan lebih besar. Temuan kami pada kasus Calon
Legislatif DPR RI jelas terjadi. Mereka menghabiskan 5-15 Miliar untuk merebut
kemenangan,” tegas Fachrul Razi.
Untuk itu,
Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi menekankan kepada seluruh stakeholder
terkait Pilkada yang hadir dalam acara kunker tersebut bahwa demokrasi Aceh
berada dalam ancaman. Karenanya Pilkada di Aceh harus diamankan sesuai
undang-undang, termasuk juga mengeliminir praktik money politic.
Menurut
Senator Razi, pelanggaran money politics dapat menciderai demokrasi, merusak
kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya, menodai fairness process politik
dan pada akhirnya menginvalidasi hasil proses politik itu sendiri.
Oleh sebab
itu, money politics merupakan persoalan serius dalam penyelenggaraan Pemilu dan
Pilkada yang apabila dibiarkan terus terjadi maka pesta demokrasi rakyat pada
proses Pemilu dan Pilkada yang direalisasikan dalam pemberian suara pemilih
pada bilik-bilik suara hanyalah cerminan dari demokrasi yang palsu karena bukan
kehendak genuine rakyat yang hadir, melainkan praktik money politics yang
menjadi faktor penentu kemenangan.
“Uang
menjadi penentu kemenangan, harusnya gagasan masa depan dan kinerja atau
program yang ditawarkan untuk rakyat,” jelas Fachrul Razi.
Oleh sebab
itu, dalam Rapat Pleno pengesahan Laporan Hasil Pengawasan UU No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilu tanggal 3 April 2024 lalu, Komite I DPD RI memberikan penekanan
terhadap masalah pemberantasan money politics ini. Termasuk pula Komite I
melihat Bawaslu tidak berdaya dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran
Pemilu sehingga banyak terjadi pembiaran pelanggaran dan merekomendasikan
perlunya penguatan kewenangan Bawaslu agar lebih bertaring dalam melakukan
proses penanganan pelanggaran kepada penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran
Pemilu/Pilkada, termasuk money politic.
“Mari
selamatkan demokrasi Aceh dengan melakukan pendidikan politik dan kampanye
tolak politik uang,” tutup Fachrul Razi. (***)
0 Komentar